Rabu, 25 Mei 2011

Tue, Apr 5th 2011, 08:16
Amanah ‘Cumbok’
Muhammad MTA - Opini
KETUA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hasbi Abdullah telah mengkonfirmasi keakuratan prediksi sejumlah kalangan selama ini tentang kemungkinan tertundanya Pilkada Aceh hingga tahun depan. “Ya akan ada penundaan Pilkada, mungkin ditunda sekitar 6 bulan,” demikian pernyataan Hasbi sebagaimana dikutip sebuah media online (30/3). Kini rakyat harus diberitahukan apa untungnya penundaan Pilkada bagi Aceh?

Kalkulasi untung-ruginya penundaan Pilkada tidaklah rumit, tidak lebih rumit dari hitung menghitung awak meu’en batee (domino). Karenanya, jika DPRA sebagai penunda Pilkada tidak dapat menghitungnya dengan baik, rakyat jelata yang alim hukum-hukum domino pun dapat mengajarkan mereka. Setidaknya dalam konteks ini terdapat satu hukum permainan domino dalam masyarakat Aceh yang relevan dipedomani, yakni “amanah cumbok bate masok han geubri adu.”

Ini tentang pasal larangan adu batee bagi kubu yang meyakini memiliki batee masok untuk memenangkan permainan. Jika hukum ini dilanggar, secara pasti kubu pelakunya telah menghadiahkan kemenangan telak secara cuma-cuma kepada lawan. Inilah hakikatnya dari apa yang dilakukan DPRA, dengan menunda Pilkada mereka menyerahkan masa depan Aceh sepenuhnya ditentukan kembali oleh Jakarta. Saat yang sama menciptakan pertentangan-pertentangan tajam antar kekuatan politik internal Aceh.

Bagaimanapun, tidak ada pihak yang paling diuntungkan dari ini semua selain pemerintah pusat. Kegagalan Aceh melakukan suksesi pada waktunya otomatis memberikan kesempatan pihak Jakarta mengangkat penjabat (PJ) Kepala Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk mengurus Aceh. Seorang PJ Gubernur akan dikomandoi dan bertanngungjawab lansung kepada Presiden. Pihak Aceh kemudian tidak mempunyai kekuatan politik yang cukup kuat untuk menentukan arah dan prioritas pembangunannya.          

Sisi lain, pertentangan-pertentangan sesama kekuatan politik internal Aceh semakin meruncing. Padahal pertentangan internal ini diketahui dapat secara efektif menjadi trigger (faktor pendorong dinamis) bagi meningkatnya kekerasan dan konflik menjelang Pilkada. Konflik kekerasan akan memberi dampak jangka panjang pada situasi perpolitikan Aceh setelah Pilkada.

Pengrusakan kantor Partai Aceh oleh massa di Bireuen beberapa hari lalu tidak dapat dipisahkan dari rangkaian mata rantai kekerasan menjelang Pilkada ke depan. Kekuatan-kekuatan tertentu yang merasa terserang secara politik dengan penundaan Pilkada akan berusaha memberi reaksi maksimal hingga akumulasi dari berbagai ketidaksenangan terhadap permainan DPRA saat ini sangat mungkin diekspresikan dalam bentuk tindakan-tindakan kekerasan.

DPRA sebaiknya diingatkan bahwa Aceh memiliki sejarah perang lebih lama dibandingkan sejarah damainya dalam satu setengah abad terakhir. Sejarah demikian telah memproduksi kerentanan sosial akut ketika dihadapkan pada potensi ancaman konflik kekerasan. Momen-momen pilkada dan pemilu selalu mengundang trend meningkatnya grafik kekerasan. Dalam pemilu 2009, tidak kurang dari 10 mantan kombatan telah dibunuh secara misterius. Mengapa kenyataan ini diabaikan oleh DPRA begitu saja?

Pengabaian DPRA pada konteks sosial politik Aceh yang rentan konflik kekerasan menjelang Pilkada, dari pandangan saya, karena partai penguasa DPRA saat ini terlalu tidak kompromistik dalam setiap kebijakan legeslasinya. Kebanggaan berlebihan ini telah membuat mereka buta pada kebaikan-kebaikan rival politiknya sesama Aceh. Maka nafsu menghancurkan kekuatan politik lainnya begitu membara, mengalahkan segala hitungan kebajikan bersama Aceh.

Mengikut pandangan Prof.Tan Sri Sanusi Junid, yang dalam banyak kesempatan mengutip ajaran pengasas Zaibatsu Jepang, Matsushita, kubu penguasa DPRA dapat disimpulkan tidak memiliki sifat sepatutnya dianut oleh masyarakat yang menginginkan amalan demokrasinya tidak menyebabkan perpecahan internal. Yakni sifat Sunao, suatu sifat yang memberi kekuatan kepada pihak pemenang melihat kebajikan pada lawan-lawan politiknya. Satu sifat yang dapat mengendalikan birahi ingin menghancurkan kekuatan politik lainnya dengan segala cara, bahkan dengan cara-cara yang tidak bisa diterima akal sehat dan etika. Tanpa sifat sunao, demokrasi kita hanya efektif memapankan perpecahan Aceh, bukan menghadirkan kebajikan dan kesejahteraan bagi semua.

Konsolidasi Aceh  

Amanah cumbok bate masok han geubrie adu yang dipedomani pemain domino di Aceh dan sifat sunao yang dianjurkan Matsushita, keduanya mempromosikan konsolidasi internal untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Elit-elit politik Aceh di DPRA kali ini harus belajar lebih keras dalam mengutamakan konsolidasi kekuatan-kekuatan politik Aceh ketimbang berusaha melanjutkan tradisi politik generasi-generasi sebelumnya, dimana kubu-kubu yang bersaing di Aceh lebih memilih bersekutu dengan kekuatan luar untuk mengalahkan saingan politiknya sesama Aceh.

Sejak Aceh menyadari lawan politik sesungguhnya adalah pemerintah pusat, maka seharusnya seni kompromi politik di kalangan elit-elit internal Aceh dapat diasah dan ditingkatkan. Seni kompromi politik untuk konsolidasi internal Aceh memang mengharuskan kekuatan-kekuatan politik saat ini membersihkan benak masing-masing dari cara pandang politik”manok agam saboh.”

Syarat lain membangun konsolidasi internal Aceh, merujuk pidato Tan Sri Sanusi Junid pada malam penutupan Aceh Development International Conference (ADIC) di Kuala Lumpur beberapa hari lalu, adalah learn to forgive. Mesti ada usaha keras untuk belajar memaafkan pihak-pihak lain yang sekian lama telah ditempatkan sebagai “orang-orang bersalah,” sebagaimana nabi memaafkan penduduk Mekah setelah peristiwa futuh.

Jika tidak, maka konsolidasi Aceh makin lama makin renggang. Bila saja kerenggangan menguat akibat masing-masing kubu politik sangat mengenal interest mereka yang berbeda, hal ini masih bisa dipahami. Sayangnya, perpecahan-perpecahan elit dan kekuatan politik Aceh hanya dampak suasana mental dan kejiwaan yang tidak stabil di kalangan sejumlah “para pemain utama”, terutama mereka yang selama ini terlalu mendoktrin diri dengan stigma-stigma politik labelisasi yang reaksioner. Juga mental manok agam sabohdan sulitnya belajar memaafkan kubu-kubu Aceh lainnya yang terlanjur diklaim bersalah atau musuh politik berbahaya. Lebih jauh tidak bisa menjadikan perbedaan sebagai sebuah rahmat sesuai dengan tuntutan keilahi-an, melainkan laknatsebagai alternatif legitimasi politik belaka.

Pastinya, bila semua kubu politik Aceh mengenal baik interest mereka, itu sangat memudahkan terselenggarakannya perundingan-perundingan dan kompromi-kompromi politik berbasis pada titik irisan kepentingan masing-masing. Lalu kemudian dapat ditafsirkan  menjadi kepentingan bersama Aceh. Pilihan DPRA saat ini benar-benar tidak jelas, apakah mereka menunda Pilkada berbasis pada hitungan yang cerdas pada kepentingan bersama Aceh atau semata untuk  subjektifitas politik belaka? 

Jawaban sesungguhnya bisa saja disembunyikan, tetapi segalanya di mata rakyat jelata sudah pula terang benderang. Sesiapa yang melanggar amanah cumbok pasti menuai kekalahan terburuk, akibat egoisme politik yang terlalu berlebihan. “Amanah cumbok batee masok han geubri adu”.

* Penulis adalah penggiat Kajian Kebijakan Publik Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar