Rabu, 25 Mei 2011

Mon, Jan 31st 2011, 08:08
Virus Revolusi
Helmy N Hakim - Opini
ALKISAH di tahun 1979, seorang ulama tua kharismatik Iran, Ayatullah Khomeini bersama rakyat Iran berhasil memimpin perjuangan revolusi menumbangkan Syah Iran. Seorang raja diktator kerajaan Iran yang pro-Amerika.

Kekuatan rakyat berhasil mengusir Syah Iran beserta keluarga pada tanggal 16 Januari 1979. Tanpa berlama-lama, 3 bulan kemudian Pada 1 April 1979, Ayatollah Rouhullah Khomeini mengumumkan pembentukan Republik Islam Iran. Maka runtuhlah sebuah kerajaan berumur 2000 tahun oleh sebuah kekuatan solid rakyat Iran yang bersatu-padu.

Bersamaan dengan itu ilusi tentang militer yang tak terkalahkan telah hancur dalam waktu semalam. Revolusi Iran telah menghempaskan tentara terbesar kelima di dunia, tentara yang ditopang oleh imperialis Amerika karena kepentingan vitalnya terlibat dalam peran kunci ini di Timur Tengah. Tetapi dalam kenyataannya, tekanan dari rakyat begitu intensif sehingga tentara perkasa ini luluh lantak berkeping-keping seperti sebuah gelas anggur yang jatuh dari meja dalam suatu pesta mabuk (http://pemikiranislam.wordpress.com).

Revolusi Iran berdampak sangat luas dalam konstelasi hubungan Internasional, kebangkitan kaum Syiah di seluruh dunia bahkan hingga kini. Untuk pertama kalinya di era modern, tokoh-tokoh agama (ulama) mampu dan berhasil melawan sebuah rezim modern, dan mengambil alih kekuasan negara. Untuk pertama kalinya implikasi revolusioner Islam, yang sampai sekarang terpendam dalam masyarakat nasab dan masyarakat kesukuan, berhasil direalisasikan dalam sebuah masyarakat industrial modern.

Salah satu contoh kecil yang berdampak langsung adalah penyiaran berita-berita revolusi Iran melalui penayangan televisi atau foto wanita-wanita Iran yang berjilbab sedang berdemonstrasi menyadarkan kaum wanita di bagian dunia lain seperti Indonesia untuk juga mengenakan jilbab. Dalam perjalanannya Iran mencoba mengekspor ide revolusi Islam kepada negara-negara Arab tetangganya, yang upaya ini mendapat tantangan berat dari rezim Saddam Hussein. Saddam yang memiliki cita-cita pan-arabisme menganggap revolusi Islam Iran sebagai penghalang selain itu kekhawatiran raja-raja Arab akan menyebarnya virus revolusi Iran ke dalam negaranya. Didukung oleh beberapa negara Arab Irak kemudian menyerbu Iran yang kemudian disebut perang teluk I yang berlangsung selama delapan tahun. Pada peridoe inilah, Ayatullah sempat membuat ramalan mengejutkan tentang akhir rezim Saddam. “Saddam akan menghadapi kematian dengan kehinaan”. Namun apakah ini sekadar propaganda atau kutukan, yang jelas ramalannya terbukti pada 30 Desember 2006, Saddam dieksekusi atas putusan pengadilan Irak dan video eksekusi tersebar ke seluruh dunia, menyedihkan!

Ternyata ide revolusi Iran tetap tidak berhenti melaju. Di Lebanon--negara kelahiran Kahlil Gibran seorang sastrawan terkemuka-- Hizbullah terbentuk di awal 1980-an. Dan pada 16 Februari 1985, menyatakan bahwa Hizbullah adalah bagian dari Gerakan revolusi Islam Iran terlepas bahwa Hizbullah berlandaskan dasar yang sama yaitu Syiah. Hizbullah kemudian menjadi kekuatan anti-Israel yang disegani dan terbukti mampu bertahan dari serangan militer Israel pada perangan 34 hari tahun 2006. 

Di Indonesia, sebuah revolusi yang ditelikung menjadi reformasi pun terjadi pada Mei 1998. Perubahan besar terjadi gelombang demonstrasi membanjiri gedung DPR/MPR RI lalu jatuhlah Soeharto. Tahun 99 rakyat Aceh pun terjangkit virus revolusi ini. Dua juta massa berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman untuk menuntut referendum dengan opsi merdeka atau NKRI, sehingga dalam suasana hiruk-pikuk reformasi di Indonesia membuat militer tidak bertindak terlalu jauh. Namun sayang sipil Aceh tidak mendapat restu “Swedia” untuk deklarasi.

Dalam satu dekade paska-reformasi di Indonesia, dunia hampir sepi dari gerakan massa rakyat menumbangkan pemerintahan. Namun, pada 14 Januari 2011 rakyat Tunisia marah. Kemarahan mereka terhadap Presiden Ben Ali membuat rakyat bergerak mengepung Istana Presiden dan menjarah seluruh isinya yang diklaim sebagai milik rakyat.

Rusuh Tunisia bermula dari seorang pemuda lulusan sarjana yang bertahan hidup dengan menjual sayur, Mohamed Bouazizi. Gerobak milik Bouazizi dirampas dengan dalih tidak mempunyai izin berdagang (berusaha). Dia dipermalukan di muka umum. Apalah jadinya, sebagai seorang lulusan perguruan tinggi yang seharusnya mudah baginya mendapatkan pekerjaan, dan hal tersebut tidak dia dapatkan karena pemerintahan yang korup, dirampas pula hak-haknya dan dipermalukan di muka umum. Maka, tidak ada jalan keluar baginya, kecuali melakukan hal yang boleh “dikatakan” nekad dan tidak mempunyai akar pada sosiologi budaya Arab. Membakar diri di depan Kantor Pemda kota kelahirannya Sidi Bousaid. Akibat dari tindakannya, memicu demonstrasi besar-besaran yang pada akhirnya memaksa Presiden Ben Ali mencari Suaka ke Arab Saudi. Dalam pesan terakhirnya di situ jejaring sosial, facebook, Bouazizi menulis “Musafir (pergi) wahai ibuku. Maafkan aku. Gak ada gunanya. Semuanya hilang di jalan apa yang kumiliki (maksudnya dirampas polisi). Maafkan aku wahai ibu, jika aku tidak menuruti ucapanmu. Makilah zaman (waktu atau situasi). Jangan maki aku. Pergi tidak kembali lagi. Dst”.

Boauazizi telah meninggal, kepergiannya diiringi ribuan massa.  Namun kepergian pemuda ini tidak sia-sia. Perubahan terjadi di Tunisia, beberapa saat kemudian wabah virus revolusi kembali menyebar ke Mesir. Rekan Amerika sekaligus sahabat Israel Husni Mubarak terancam tumbang. Bahkan berita terakhir keluarga, kerabat dan pengusaha pro Mubarak mulai berangkat meninggalkan Mesir.

Tunisia, ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia. Namun pemimpin Revolusi Wali Hasan Tiro pernah mengendalikan pergolakan revolusi Aceh dari Swedia. Jarak yang lebih jauh dari Tunisia-Aceh. Tentu kita tidak berharap virus revolusi menular dalam bentuk yang sama ke Indonesia.

Di ranah Indonesia kita sudah terlalu kenyang dengan pergolakan yang tak membuahkan hasil, reformasi yang dimanfaatkan elit politik dan tumpahan darah rakyat di Aceh pun berakhir di secarik kertas yang tak membawa perubahan.

Revolusi Tunisia kita harapkan menjadi inspirasi bagi kaum muda Aceh dalam melakukan perubahan demi kesejahteraan rakyat Aceh yang sudah tiga puluh tahun lebih berada di bawah tirani militer dan “militer”. Menjelang Pilkada 2011

Kita berharap rakyat Aceh dapat melakukan revolusi melalui kotak suara dengan memilih pemimpin yang memiliki karakter revolusioner seperti Mohamed Bouazizi. Muda, berani, rela berkorban dan memiliki visi perubahan dan pembangunan. Sebuah pilihan yang sama sulitnya dengan melakukan revolusi seperti Tunisia. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar