Rabu, 25 Mei 2011

Mon, Jan 31st 2011, 08:08
Virus Revolusi
Helmy N Hakim - Opini
ALKISAH di tahun 1979, seorang ulama tua kharismatik Iran, Ayatullah Khomeini bersama rakyat Iran berhasil memimpin perjuangan revolusi menumbangkan Syah Iran. Seorang raja diktator kerajaan Iran yang pro-Amerika.

Kekuatan rakyat berhasil mengusir Syah Iran beserta keluarga pada tanggal 16 Januari 1979. Tanpa berlama-lama, 3 bulan kemudian Pada 1 April 1979, Ayatollah Rouhullah Khomeini mengumumkan pembentukan Republik Islam Iran. Maka runtuhlah sebuah kerajaan berumur 2000 tahun oleh sebuah kekuatan solid rakyat Iran yang bersatu-padu.

Bersamaan dengan itu ilusi tentang militer yang tak terkalahkan telah hancur dalam waktu semalam. Revolusi Iran telah menghempaskan tentara terbesar kelima di dunia, tentara yang ditopang oleh imperialis Amerika karena kepentingan vitalnya terlibat dalam peran kunci ini di Timur Tengah. Tetapi dalam kenyataannya, tekanan dari rakyat begitu intensif sehingga tentara perkasa ini luluh lantak berkeping-keping seperti sebuah gelas anggur yang jatuh dari meja dalam suatu pesta mabuk (http://pemikiranislam.wordpress.com).

Revolusi Iran berdampak sangat luas dalam konstelasi hubungan Internasional, kebangkitan kaum Syiah di seluruh dunia bahkan hingga kini. Untuk pertama kalinya di era modern, tokoh-tokoh agama (ulama) mampu dan berhasil melawan sebuah rezim modern, dan mengambil alih kekuasan negara. Untuk pertama kalinya implikasi revolusioner Islam, yang sampai sekarang terpendam dalam masyarakat nasab dan masyarakat kesukuan, berhasil direalisasikan dalam sebuah masyarakat industrial modern.

Salah satu contoh kecil yang berdampak langsung adalah penyiaran berita-berita revolusi Iran melalui penayangan televisi atau foto wanita-wanita Iran yang berjilbab sedang berdemonstrasi menyadarkan kaum wanita di bagian dunia lain seperti Indonesia untuk juga mengenakan jilbab. Dalam perjalanannya Iran mencoba mengekspor ide revolusi Islam kepada negara-negara Arab tetangganya, yang upaya ini mendapat tantangan berat dari rezim Saddam Hussein. Saddam yang memiliki cita-cita pan-arabisme menganggap revolusi Islam Iran sebagai penghalang selain itu kekhawatiran raja-raja Arab akan menyebarnya virus revolusi Iran ke dalam negaranya. Didukung oleh beberapa negara Arab Irak kemudian menyerbu Iran yang kemudian disebut perang teluk I yang berlangsung selama delapan tahun. Pada peridoe inilah, Ayatullah sempat membuat ramalan mengejutkan tentang akhir rezim Saddam. “Saddam akan menghadapi kematian dengan kehinaan”. Namun apakah ini sekadar propaganda atau kutukan, yang jelas ramalannya terbukti pada 30 Desember 2006, Saddam dieksekusi atas putusan pengadilan Irak dan video eksekusi tersebar ke seluruh dunia, menyedihkan!

Ternyata ide revolusi Iran tetap tidak berhenti melaju. Di Lebanon--negara kelahiran Kahlil Gibran seorang sastrawan terkemuka-- Hizbullah terbentuk di awal 1980-an. Dan pada 16 Februari 1985, menyatakan bahwa Hizbullah adalah bagian dari Gerakan revolusi Islam Iran terlepas bahwa Hizbullah berlandaskan dasar yang sama yaitu Syiah. Hizbullah kemudian menjadi kekuatan anti-Israel yang disegani dan terbukti mampu bertahan dari serangan militer Israel pada perangan 34 hari tahun 2006. 

Di Indonesia, sebuah revolusi yang ditelikung menjadi reformasi pun terjadi pada Mei 1998. Perubahan besar terjadi gelombang demonstrasi membanjiri gedung DPR/MPR RI lalu jatuhlah Soeharto. Tahun 99 rakyat Aceh pun terjangkit virus revolusi ini. Dua juta massa berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman untuk menuntut referendum dengan opsi merdeka atau NKRI, sehingga dalam suasana hiruk-pikuk reformasi di Indonesia membuat militer tidak bertindak terlalu jauh. Namun sayang sipil Aceh tidak mendapat restu “Swedia” untuk deklarasi.

Dalam satu dekade paska-reformasi di Indonesia, dunia hampir sepi dari gerakan massa rakyat menumbangkan pemerintahan. Namun, pada 14 Januari 2011 rakyat Tunisia marah. Kemarahan mereka terhadap Presiden Ben Ali membuat rakyat bergerak mengepung Istana Presiden dan menjarah seluruh isinya yang diklaim sebagai milik rakyat.

Rusuh Tunisia bermula dari seorang pemuda lulusan sarjana yang bertahan hidup dengan menjual sayur, Mohamed Bouazizi. Gerobak milik Bouazizi dirampas dengan dalih tidak mempunyai izin berdagang (berusaha). Dia dipermalukan di muka umum. Apalah jadinya, sebagai seorang lulusan perguruan tinggi yang seharusnya mudah baginya mendapatkan pekerjaan, dan hal tersebut tidak dia dapatkan karena pemerintahan yang korup, dirampas pula hak-haknya dan dipermalukan di muka umum. Maka, tidak ada jalan keluar baginya, kecuali melakukan hal yang boleh “dikatakan” nekad dan tidak mempunyai akar pada sosiologi budaya Arab. Membakar diri di depan Kantor Pemda kota kelahirannya Sidi Bousaid. Akibat dari tindakannya, memicu demonstrasi besar-besaran yang pada akhirnya memaksa Presiden Ben Ali mencari Suaka ke Arab Saudi. Dalam pesan terakhirnya di situ jejaring sosial, facebook, Bouazizi menulis “Musafir (pergi) wahai ibuku. Maafkan aku. Gak ada gunanya. Semuanya hilang di jalan apa yang kumiliki (maksudnya dirampas polisi). Maafkan aku wahai ibu, jika aku tidak menuruti ucapanmu. Makilah zaman (waktu atau situasi). Jangan maki aku. Pergi tidak kembali lagi. Dst”.

Boauazizi telah meninggal, kepergiannya diiringi ribuan massa.  Namun kepergian pemuda ini tidak sia-sia. Perubahan terjadi di Tunisia, beberapa saat kemudian wabah virus revolusi kembali menyebar ke Mesir. Rekan Amerika sekaligus sahabat Israel Husni Mubarak terancam tumbang. Bahkan berita terakhir keluarga, kerabat dan pengusaha pro Mubarak mulai berangkat meninggalkan Mesir.

Tunisia, ribuan kilometer jauhnya dari Indonesia. Namun pemimpin Revolusi Wali Hasan Tiro pernah mengendalikan pergolakan revolusi Aceh dari Swedia. Jarak yang lebih jauh dari Tunisia-Aceh. Tentu kita tidak berharap virus revolusi menular dalam bentuk yang sama ke Indonesia.

Di ranah Indonesia kita sudah terlalu kenyang dengan pergolakan yang tak membuahkan hasil, reformasi yang dimanfaatkan elit politik dan tumpahan darah rakyat di Aceh pun berakhir di secarik kertas yang tak membawa perubahan.

Revolusi Tunisia kita harapkan menjadi inspirasi bagi kaum muda Aceh dalam melakukan perubahan demi kesejahteraan rakyat Aceh yang sudah tiga puluh tahun lebih berada di bawah tirani militer dan “militer”. Menjelang Pilkada 2011

Kita berharap rakyat Aceh dapat melakukan revolusi melalui kotak suara dengan memilih pemimpin yang memiliki karakter revolusioner seperti Mohamed Bouazizi. Muda, berani, rela berkorban dan memiliki visi perubahan dan pembangunan. Sebuah pilihan yang sama sulitnya dengan melakukan revolusi seperti Tunisia. Semoga!
Tue, Apr 5th 2011, 08:16
Amanah ‘Cumbok’
Muhammad MTA - Opini
KETUA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hasbi Abdullah telah mengkonfirmasi keakuratan prediksi sejumlah kalangan selama ini tentang kemungkinan tertundanya Pilkada Aceh hingga tahun depan. “Ya akan ada penundaan Pilkada, mungkin ditunda sekitar 6 bulan,” demikian pernyataan Hasbi sebagaimana dikutip sebuah media online (30/3). Kini rakyat harus diberitahukan apa untungnya penundaan Pilkada bagi Aceh?

Kalkulasi untung-ruginya penundaan Pilkada tidaklah rumit, tidak lebih rumit dari hitung menghitung awak meu’en batee (domino). Karenanya, jika DPRA sebagai penunda Pilkada tidak dapat menghitungnya dengan baik, rakyat jelata yang alim hukum-hukum domino pun dapat mengajarkan mereka. Setidaknya dalam konteks ini terdapat satu hukum permainan domino dalam masyarakat Aceh yang relevan dipedomani, yakni “amanah cumbok bate masok han geubri adu.”

Ini tentang pasal larangan adu batee bagi kubu yang meyakini memiliki batee masok untuk memenangkan permainan. Jika hukum ini dilanggar, secara pasti kubu pelakunya telah menghadiahkan kemenangan telak secara cuma-cuma kepada lawan. Inilah hakikatnya dari apa yang dilakukan DPRA, dengan menunda Pilkada mereka menyerahkan masa depan Aceh sepenuhnya ditentukan kembali oleh Jakarta. Saat yang sama menciptakan pertentangan-pertentangan tajam antar kekuatan politik internal Aceh.

Bagaimanapun, tidak ada pihak yang paling diuntungkan dari ini semua selain pemerintah pusat. Kegagalan Aceh melakukan suksesi pada waktunya otomatis memberikan kesempatan pihak Jakarta mengangkat penjabat (PJ) Kepala Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk mengurus Aceh. Seorang PJ Gubernur akan dikomandoi dan bertanngungjawab lansung kepada Presiden. Pihak Aceh kemudian tidak mempunyai kekuatan politik yang cukup kuat untuk menentukan arah dan prioritas pembangunannya.          

Sisi lain, pertentangan-pertentangan sesama kekuatan politik internal Aceh semakin meruncing. Padahal pertentangan internal ini diketahui dapat secara efektif menjadi trigger (faktor pendorong dinamis) bagi meningkatnya kekerasan dan konflik menjelang Pilkada. Konflik kekerasan akan memberi dampak jangka panjang pada situasi perpolitikan Aceh setelah Pilkada.

Pengrusakan kantor Partai Aceh oleh massa di Bireuen beberapa hari lalu tidak dapat dipisahkan dari rangkaian mata rantai kekerasan menjelang Pilkada ke depan. Kekuatan-kekuatan tertentu yang merasa terserang secara politik dengan penundaan Pilkada akan berusaha memberi reaksi maksimal hingga akumulasi dari berbagai ketidaksenangan terhadap permainan DPRA saat ini sangat mungkin diekspresikan dalam bentuk tindakan-tindakan kekerasan.

DPRA sebaiknya diingatkan bahwa Aceh memiliki sejarah perang lebih lama dibandingkan sejarah damainya dalam satu setengah abad terakhir. Sejarah demikian telah memproduksi kerentanan sosial akut ketika dihadapkan pada potensi ancaman konflik kekerasan. Momen-momen pilkada dan pemilu selalu mengundang trend meningkatnya grafik kekerasan. Dalam pemilu 2009, tidak kurang dari 10 mantan kombatan telah dibunuh secara misterius. Mengapa kenyataan ini diabaikan oleh DPRA begitu saja?

Pengabaian DPRA pada konteks sosial politik Aceh yang rentan konflik kekerasan menjelang Pilkada, dari pandangan saya, karena partai penguasa DPRA saat ini terlalu tidak kompromistik dalam setiap kebijakan legeslasinya. Kebanggaan berlebihan ini telah membuat mereka buta pada kebaikan-kebaikan rival politiknya sesama Aceh. Maka nafsu menghancurkan kekuatan politik lainnya begitu membara, mengalahkan segala hitungan kebajikan bersama Aceh.

Mengikut pandangan Prof.Tan Sri Sanusi Junid, yang dalam banyak kesempatan mengutip ajaran pengasas Zaibatsu Jepang, Matsushita, kubu penguasa DPRA dapat disimpulkan tidak memiliki sifat sepatutnya dianut oleh masyarakat yang menginginkan amalan demokrasinya tidak menyebabkan perpecahan internal. Yakni sifat Sunao, suatu sifat yang memberi kekuatan kepada pihak pemenang melihat kebajikan pada lawan-lawan politiknya. Satu sifat yang dapat mengendalikan birahi ingin menghancurkan kekuatan politik lainnya dengan segala cara, bahkan dengan cara-cara yang tidak bisa diterima akal sehat dan etika. Tanpa sifat sunao, demokrasi kita hanya efektif memapankan perpecahan Aceh, bukan menghadirkan kebajikan dan kesejahteraan bagi semua.

Konsolidasi Aceh  

Amanah cumbok bate masok han geubrie adu yang dipedomani pemain domino di Aceh dan sifat sunao yang dianjurkan Matsushita, keduanya mempromosikan konsolidasi internal untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Elit-elit politik Aceh di DPRA kali ini harus belajar lebih keras dalam mengutamakan konsolidasi kekuatan-kekuatan politik Aceh ketimbang berusaha melanjutkan tradisi politik generasi-generasi sebelumnya, dimana kubu-kubu yang bersaing di Aceh lebih memilih bersekutu dengan kekuatan luar untuk mengalahkan saingan politiknya sesama Aceh.

Sejak Aceh menyadari lawan politik sesungguhnya adalah pemerintah pusat, maka seharusnya seni kompromi politik di kalangan elit-elit internal Aceh dapat diasah dan ditingkatkan. Seni kompromi politik untuk konsolidasi internal Aceh memang mengharuskan kekuatan-kekuatan politik saat ini membersihkan benak masing-masing dari cara pandang politik”manok agam saboh.”

Syarat lain membangun konsolidasi internal Aceh, merujuk pidato Tan Sri Sanusi Junid pada malam penutupan Aceh Development International Conference (ADIC) di Kuala Lumpur beberapa hari lalu, adalah learn to forgive. Mesti ada usaha keras untuk belajar memaafkan pihak-pihak lain yang sekian lama telah ditempatkan sebagai “orang-orang bersalah,” sebagaimana nabi memaafkan penduduk Mekah setelah peristiwa futuh.

Jika tidak, maka konsolidasi Aceh makin lama makin renggang. Bila saja kerenggangan menguat akibat masing-masing kubu politik sangat mengenal interest mereka yang berbeda, hal ini masih bisa dipahami. Sayangnya, perpecahan-perpecahan elit dan kekuatan politik Aceh hanya dampak suasana mental dan kejiwaan yang tidak stabil di kalangan sejumlah “para pemain utama”, terutama mereka yang selama ini terlalu mendoktrin diri dengan stigma-stigma politik labelisasi yang reaksioner. Juga mental manok agam sabohdan sulitnya belajar memaafkan kubu-kubu Aceh lainnya yang terlanjur diklaim bersalah atau musuh politik berbahaya. Lebih jauh tidak bisa menjadikan perbedaan sebagai sebuah rahmat sesuai dengan tuntutan keilahi-an, melainkan laknatsebagai alternatif legitimasi politik belaka.

Pastinya, bila semua kubu politik Aceh mengenal baik interest mereka, itu sangat memudahkan terselenggarakannya perundingan-perundingan dan kompromi-kompromi politik berbasis pada titik irisan kepentingan masing-masing. Lalu kemudian dapat ditafsirkan  menjadi kepentingan bersama Aceh. Pilihan DPRA saat ini benar-benar tidak jelas, apakah mereka menunda Pilkada berbasis pada hitungan yang cerdas pada kepentingan bersama Aceh atau semata untuk  subjektifitas politik belaka? 

Jawaban sesungguhnya bisa saja disembunyikan, tetapi segalanya di mata rakyat jelata sudah pula terang benderang. Sesiapa yang melanggar amanah cumbok pasti menuai kekalahan terburuk, akibat egoisme politik yang terlalu berlebihan. “Amanah cumbok batee masok han geubri adu”.

* Penulis adalah penggiat Kajian Kebijakan Publik Aceh.

Rabu, 18 Mei 2011

Fisip yang malang
Pagi itu di sebuah halte bus seorang remaja yang berpakaian rapi dengan sebuah buku di lengannya berdiri  tegap seraya melambaikan tangannya ke arah Bus antar kota yang biasa di sebut oleh masyarakat aceh dengan sebutan BE ( Bireun Ekpres ) salah satu jasa angkutan Umum yang paling terkenal di aceh utara, khususnya Bireun Dan Kota lhokseumawe. Remaja itu tidak pernah lepas dari pandangan penulis yang berada di dalam BE, pada awalnya penulis tidak kenal dengan remaja itu karena terlihat dari kejahuan namun setelah remaja tersebut berada di dalam BE penulis baru menyadari bahwa  remaja yang berpakaian rapi dengan sebuah buku di lengannya adalah sahabat penulis sendiri dia bernam AGUSNI, seorang mahasiswa FISIP  UNIMAL  jurusan ilmu komunikasi,  kami  satu jurusan dan telah berteman lama semenjak duduk di bangku sekolah, agusni merupakan anak ketiga dari lima bersodara yang sekarang berdomisili di daerah barat kabupaten Aceh Utara yaitu di desa Cot Seurani Kecamatan Muara batu, kebutulan pagi itu kami sama-sama ingin menuju kekampus yang terletak di jln, medan-banda aceh, Bukit Indah, Paloh.                                            
Kampus fisip unimal  yang terletak di salah satu perumahan EXSON MOBILE mungkin tidak asing lagi bagi maasiswa unimal, kampus ini merupakan pemberian dari salah satu perusahaan Gas terbesar yang ada di Aceh Utara di karenakan penghuni yang lama telah berpindah ke tempat lain, dengan inisiatif pemerintah maka di hibahlah perumahan ini untuk digunakan sebagai tempat belajar bagi mahasiswa fisip dan Ekonomi unuversitas malikussaleh.                                             
Tetapai sangat disayangkan perumahan yang dulunya begtu indah sekarang menjadi tempat yang kumuh di kernakan sudah lama di tinggal oleh pemiliknya, meskipun pihak universitas telah berusaha semaksimal mungkin tempat ini juga belum bisa kembali seperti semula, ini memang tugas kita bersama untuk membuat kampus kita terlihat lebih cantik dan aktifitas belajar kita bejalan dengan baik, memang jika kita perhatikan kondisi kampus kita akan jauh dengan yang kita harapkan. Apalagi seperti kita ketahui dan rasakan bersama bosanya kita dengan suasana kampus sekarang, setiap hari kita belajar dengan fasilitas yang tidak memadai, ketika waktu belajar tiba kita mesti sabar dengan kepanasan ruangan, terkadang kita semua bisa mengeluarkan keringat sampe membahasahi seluruh baju kita, belum lagi fasilitas IPTEK seperti LAB, perpustakaan Jurusan, Mushola, bayangkan untuk belajar dengan menggunakan infokus aja kita mesti antri dengan kelas lain, belum lagi jika kita mau buang air kecil, mesti pergi nyari dimana kelas atau prodi jurusan yang menyediakan air.
Huuuuuuu....H...!!!! capeknya kita jika memikirkan kampus kita ini, emang malangnya nasip kita, semoga dengan kerjasama yang baik dari pihak universitas dan kita semua mahasiswa bisa membawa kampus kita lebih nyaman dan kita bisa belajar dengan damai... amin


Rabu, 16 Maret 2011

propaganda

BAB 4. PROPAGANDA dan OPINI PUBLIK
A.    Opini Publik
1.     Opini
Cutlip dan Center pernah mengatakan bahwa opini adalah kecenderungan untuk memberikan respons terhadap suatu masalah atau situasi tertentu (Sastropoetro, 1987).
2.    Publik
Publik (public) sering diartikan umum. Bagi Karl Mannheim, public ialah kesatuan banyak yang bukan berdasarkan interaksi perseorangan, tetapi atas dasar reaksi terhadap stimuli yang sama. Reaksi itu muncul tanpa keharusan berdekatannya anggota public itu secara fisik antara yang satu dengan yang lain (Mannheim, 1985). Dalam public (Mannheim, mereka terintegrasi oleh tujuan yang dipengaruhi oleh stimuli tertentu. Oleh karena itu, dalam public ada beberapa keistimewaan; 1) Punya tujuan tertentu atau maksud tertentu, 2) Integrasi mereka menyerupai sejenis organisasi primer dimana terdapat keteraturan waktu dan tingkah laku. Mereka menduduki dan meninggalkan tempat duduk pada waktu tertentu, dan 3) (Anggota public) memainkan peran tertentu seperti sebagai penonton/pendengar atau pembaca.
Sedangkan Herbert Blumer berpendapat bahwa public adalah sekelompok orang yang tertarik pada suatu isu dan terbagi-bagi pikirannya dalam menghadapi isu tersebut dan berusaha untuk mengatasinya. Kingsley Davis menggarisbawahi bahwa public itu kelompok yang tidak merupakan kesatuan, interaksi terjadi tidak lansung melalui alat-alat komunikasi, tingkah laku public didasarkan pada tingkah laku individu (Sastropoetro, 1987).
Dengan demikian, public dalam hal ini bisa diartikan sebagai; 1) sekelompok individu yang tidak terorganisasi, 2) kelompok itu tidak mengumpul di satu tempat, tapi menyebar, bukan suatu kesatuan, 3) mempunyai interest sama terhadap suatu persoalan, 4) melakukan kontak satu dengan yang lainnya, bisaanya tidak lansung, 4) ada stimuli yang memungkinkan terciptanya public, 5) biasanya tidak  saling kenal satu sama lain.
3.    Opini Publik
Opini publik adalah kelompok yang tidak terorganisasi serta menyebar di berbagai tempat dengan disatukan oleh suatu isu tertentu dengan saling mengadakan kontak satu sama lain dan biasanya melalui media massa.

B.    Proses Terbentuknya Opini Publik
Timbulnya opini publik meliputi 2 sebab, yakni direncanakan dan tidak direncanakan. Sebuah opini publik yang tidak direncanakan kemunculannya dikeluarkan karena memang tidak mempunyai tujuan dan target tertentu. Lain halnya dengan opini publik yang direncanakan. Karena direncanakan, maka keorganisasian, media, target tertentu yang menjadi sasaran jelas disini. Dalam politik hal demikian sangat jelas sekali.
Menurut Ferdinand Tonies dalam karyanya Die Offentlichen Meinung (Sastropoetro, 1987), tahap-tahap terbentuknya opini publik terdiri dari 3 tahap;
1.    Die Luftartigen Position, pada tahap pertama opini publik masih semrawut, seperti angin rebut. Sebab, masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan factor-faktor lain yang melekat pada dirinya.
2.    Die Fleissigen Position, tahap kedua opini publik sudah menunjukkan ke arah pembicaraan lebih jelas dan bisa dianggap bahwa pendapat-pendapat tersebut mulai mengumpul ke arah tertentu serta jelas.
3.    Die Festige Position, tahap ketiga yang menunjukkan bahwa pembicaraan dan diskusi telah mantap dan suatu pandapat telah terbentuk dan siap untuk dinyatakan. Dengan kata lain siap untuk diyakini kebenarannya setelah melalui perdebatan dan perbedaan pendapat yang tajam.

C.    Kekuatan Opini Publik
Kekutan opini publik, yaitu:
1.    Menjadi hukum social.
2.    Melanggengkan atau menghapuskan nilai dan norma kemasyarakatan.
3.    Mengancam karir politk seseorang.
4.    Mempertahankan atau menghancurkan sebuah organisasi atau institusi.

D.    Membuat Opini Publik, Merengkuh Target Poliltik
Sebuah opini dinyatakan benar, manakala sudah tercapai suatu kesepakatan umum tentang kebenaran dari sebuah opini. Sedang untuk mencapai mencapai suatu kesepakatan tersebut membutuhkan sebuah proses atau tahapan-tahapan.
Oleh karena itu, tak bisa dipungkiri jika opini publik penuh dengan muatan kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan, opini publik sengaja diciptakan untuk tujuan-tujuan yang diinginkan individu atau kelompok dalam mencapai sasarannya.
Opini publik hanya bisa mencapai sasaran yang jelas, jika didukung moralitas public yang baik pula. Artinya ada semacam pertanggungjawaban kepada masyarakat. Dan tidak hanya karena ada usaha melindungi kredibilitas dirinya ia rela mengorbankan harga diri, cuek dengan opini sekitarnya, berlindung dibalik jabatan, dan cenderung menyalahkan pihak lain.

E.    Hubungan Opini Publik dengan Propaganda
Hubungan opini publik dan propaganda sangatlah erat dan tidak bia dipisahkan satu sama lain. Laswell (1927) pernah mengatakan bahwa propaganda saemata-mata adalah control opini (It (propaganda,pen) refers solely to the control of opinion) (Severin dan Tankard, 1979). Ini artinya, suatu propaganda dilakukan untuk mempengaruhi atau mengontrol opini pihak yang menjadi sasaran propaganda.
Tujuan propaganda adalah mempengaruhi sikap dan perilaku yang dijadikan sasaran propaganda. Dalam kenyataannya, sikap dan perilaku itu hanya bisa dibentuk melalui keterpengaruhan opini terlebih dahulu. Dengan demikian, opini publik bisa dikatakan menjadi perantara perubahan sikap dan perilaku sasaran propagandis. Dengan kata lain pula, opini publik menjadi alat yang baik dalam mewujudkan propaganda. Propaganda bertujuan untuk mempengaruhi opini publik. Perkembangan selanjutnya, opini publik yang sudah terbentuk untuk mendukung tujuan propaganda itu sendiri.
Namun begitu, propaganda juga bisa dijadikan sasaran dalam opini publik. Ini didasarkan pada asumsi bahwa propaganda dimulai terlebih dahulu dengan menyiapkan seperangkat apa yang dinyatakan. Dan apa yang dinyatakan ini dianggap sebagai opini publik. Jadi dimulai dengan sebuah opini, dipropagandakan, menjadi opini publik dan perubahan sikap dan perilaku sasaran propaganda.